Sejarah awal kongsi China di Kalbar terungkap dalam catatan sejarah Hindia Belanda yang menyatakan bahwa orang China telah datang ke Borneo Barat (Kalbar) pada masa dinasti Ming (1368-1664) dalam beberapa gelombang melalui Brunei. Mereka yang datang pada masa itu terdiri dari pedagang dan perantau dalam jumlah yang kecil untuk mencari kehidupan yang lebih baikdi pulau Borneo yang kaya akan bahan tambang emas, intan, batu bara dan minyak bumi serta lada hitam dan sarang burung walet.
Tercatat sejarah bahwa kedatangan kongsi China untuk menambang pertama kali ke Borneo Barat (Kalbar) dari Brunei pada tahun 1740 hingga 1745. Mereka membuka pertambangan emas di Mandor wilayah kerajaan Mempawah ( sekarang masuk wilayah Kabupaten Landak) serta pertambangan emas di Monterado, Seminis-Larah dan Pemangkat dalam wilayah kerajaan Sambas (sekarang Kabupaten Sambas dan Bengkayang).
Menurut Schaank (1893) kebanyakan para penambang emas kongsi China itu berasal dari suku Hakka, Hokkien dan Caton yang berimigrasi dari negaranya untuk mencari kehidupan baru di wilayah selatan guna menghindari kekacauan dan kelaparan akibat terjadinya peperangan di negerinya.
Kedatangan kongsi China ke pulau Borneo pada awalnya atas permintaan Sultan-sultan Melayu termasuk Sultan Sambas dan Penembahan Mempawah. Saat itu yang didatangkan penembahan Mempawah dan Sultan Sambas adalah para pekerja tambang emas dari provinsi Hainan yang memiliki keahlian dan ketekunan dalam pekerjaan penambangan emas. Kemanyakan dari penambang emas China itu berangkat terlebih dahulu ke Brunei baru kemudian menuju ke Kerajaan Sambas dan Kerajaan Mempawah.
Keberhasilan para pekerja China secara ekonomi dari hasil pertambangan emas telah menimbulkan persoalan baru dalam hubungan dengan Sultan Sambas. Setelah merasa kuat dan kaya pada tahun 1760 beberapa pemimpin dari penambang China mendirikan beberapa "Kongsi" pertambangan dengan mengelompokkan anggotanya menurut suku asal mereka di negeri leluhur. Tercatat sedikitnnya ada 12 Kongsi yang telah didirikan oleh para pekerja tambang China. Namun, Kongsi yang besar dan kuat hanya ada tiga, yaitu Kongsi Ta Kang yang menguasai kawasan Monterado-Larah. Kemudian Kongsi Lan Fang yang berkedudukan di Mandor dan Kongsi San Tiao Kou yang menguasai kawasan dekat Sepang, Seminis dan wilayah Pemangkat.
Ketiga Kongsi ini saling bermusuhan antara satu dengan yang lainnya karena persoalan batas wilayah pertambangan yang dikuasai mereka. Sedangkan Kongsi-kongsi kecil hanya mengikat hubungan kerjasama dengan salah satu Kongsi terbesar itu.
Ketiga Kongsi besar yaitu Ta Kang, Lan Fang dan San Tiao Kou berusaha memperluas wilayah pertambangan mereka dengan cara melakukan kerjasama dengan kongsi-kongsi kecil yang berada di luar wilayah merek. Perebutan pengaruh kalangan Kongsi ini menimbulkan menjadi penyebab permusuhan ketiga Kongsi besar itu terutama pada Kongsi Ta kang dengan Kongsi Tiao Kou yang wilayahnya berdekatan.
Pada tahun 1837 terjadi peperangan antara Kongsi Ta Kang dengan Kongsi San Tiao Kou yang disebabkan perselisihan perebutan wilayah pertambangan emas. Perselisihan itu bermula dari dibukanya Kongsi Kecil di Buduk dan Lumar (sekarang Kabupaten Bengkayang) oleh kalangan Kongsi Ta Kang. Tekanan yang dilakukan Kongsi Ta Kang terhadap Kongsi San Tiao Kou dan kongsi-kongsi lainnya yang kecil mengakibatkan mereka lari kepedalaman dan bahkan melarikan diri ke Serawak Malaysia. Sebagian dari mereka mendapatkan ijin dari Sultan Sambas untuk bercocok tanam dan meninggalkan pekerjaan pertambangan di daerah pedalaman.
Pada masa itu, peran kontrol Kesultanan Sambas terhadap para Kongsi China semakin lemah terutama setelah terjadinya penyerangan yang dilakukan Kolonial Inggris terhadap Kesultanan Sambas pada tahun 1813 untuk menangkap Pangeran Anom yang dituduh Raffles sebagai komandan Lanun. Terlebih lagi setelah pengembalian tahta Sultan Sambas oleh Inggris pada 24 Oktober 1813 yang disertai dengan syarat bahwa Kesultanan Sambas tidak boleh memiliki pasukan tempur dan hanya diperkenankan mempunyai pasukan pengawal istana saja. Dalam kondisi itu, Kesultanan Sambas tidak lagi memiliki kekuatan militer untuk menghadapi sepak terjang para pemimpin Kongsi yang mulai membangkang kepada kekuasaan Sultan Sambas terutama dalam hal membayar pajak atau upeti.
Kelemahan Kesultanan Sambas yang tidak lagi memiliki pasukan tempur dimanfaatkan para pemimpin Kongsi Ta Kang dan Kongsi-kongsi kecil diwilayah kontrolnya untuk membangun sebuah kekuatan pemerintahan sendiri yang kemudian dikenal dengan nama "Repubrik Kongsi". Selain mengatur pemerintahan dan membuat peradilan sendiri, Kongsi Ta kang dan kongsi kecil lainnya juga tidak mau lagi menyetor pajak orang asing dan pajak pertambangan emas yang mereka usahakan.Secara Defacto, Kongsi Ta Kang dan para kongsi kecil lainnya telah memisahkan diri dari Kesultanan Sambas yang telah memberikan wilayah pertambangan emas untuk mereka dulu. Pembangkangan yang dilakukan pimpinan Kongsi Ta Kang ini sangat meresahkan Sultan Sambas sehingga Sultan Sambas meminta bantuan Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) untuk menumpas kongsi tersebut.
Patut diketahui bahwa sebelum para pekerja tambang China didatangkan ke Borneo Barat (Kalbar) oleh Penembagan Mempawah dan Kesultanan Sambas mereka terlebih dahulu menetap di Brunei dan melakukan pekerjaan penambangan emas yang dikendalikan oleh Kesultanan Brunei. Namun, lahan tambang Brunei mulai menipis dan mereka ditawarkan oleh Sultan Brunei kepada Penembahan Mempawah dan Kesultanan Sambas. Kedatangan kelombang pertama penambang emas China ke Borneo Barat (Kalbar) bukan atas inisiatif mereka sendiri tetapi difasilitasi oleh Sultan Brunei dan tercatat dalam laporan Raffles bahwa jumlah mereka mencapai 30.000 orang lebih dan jumlah emas yang mereka hasilkan dari beberapa kawasan pertambangan emas di Borneo Barat (Kalbar) sekitar 4.744.000 dollar Spanyol per-tahun.
Pada tahun 1799, terjadi pemberontakan pertama Kongsi China dan berhasil ditanggulangi Kesultanan Sambas dan Belanda. Pemberontakan ke-dua terjadi pada 13 Maret 1819 yang menyebabkan Lenan Von Kielberg terluka dan Juru Tulis Raupp hilang. Hingga kini jenazah juru tulis itu tidak pernah ditemukan lagi. Pemberontakan dipicu kebijakan Residen Sambas George Muller yang dinilai tidak aspiratif dalam menampung keluhan para Kongsi China. Tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Kapten Zimmermen.
Kongsi Ta kang dan kongsi-kongsi kecil lainnya bukan saja tetap menolak pembayaran pajak kepada Kesultanan Sambas tetapi mempersiapkan untuk melakukan pemberontakan ke-tiga yang lebih besar pada tahun 1851 yang menyebabkan Letnan Kolonel (Overste) Zorg tewas dalam pertempuran. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Overste Andressen. Pasukan Belanda di Sambas dengan kekuatan militer yang dibantu pasukan dari Batavia (Jakarta) yang akhirnya dapat membubarkan Kongsi China terbesar di Monterado pada tahun 1854. Diketahui bahwa uapaya untuk menundukkan Kongsi China di wilayah Kesultanan Sambas Overste Andressen telah mengerahkan 2000 lebih tentara yang didatangkan dari pulau Jawa.
Tercatat sejarah bahwa kedatangan kongsi China untuk menambang pertama kali ke Borneo Barat (Kalbar) dari Brunei pada tahun 1740 hingga 1745. Mereka membuka pertambangan emas di Mandor wilayah kerajaan Mempawah ( sekarang masuk wilayah Kabupaten Landak) serta pertambangan emas di Monterado, Seminis-Larah dan Pemangkat dalam wilayah kerajaan Sambas (sekarang Kabupaten Sambas dan Bengkayang).
Menurut Schaank (1893) kebanyakan para penambang emas kongsi China itu berasal dari suku Hakka, Hokkien dan Caton yang berimigrasi dari negaranya untuk mencari kehidupan baru di wilayah selatan guna menghindari kekacauan dan kelaparan akibat terjadinya peperangan di negerinya.
Kedatangan kongsi China ke pulau Borneo pada awalnya atas permintaan Sultan-sultan Melayu termasuk Sultan Sambas dan Penembahan Mempawah. Saat itu yang didatangkan penembahan Mempawah dan Sultan Sambas adalah para pekerja tambang emas dari provinsi Hainan yang memiliki keahlian dan ketekunan dalam pekerjaan penambangan emas. Kemanyakan dari penambang emas China itu berangkat terlebih dahulu ke Brunei baru kemudian menuju ke Kerajaan Sambas dan Kerajaan Mempawah.
Keberhasilan para pekerja China secara ekonomi dari hasil pertambangan emas telah menimbulkan persoalan baru dalam hubungan dengan Sultan Sambas. Setelah merasa kuat dan kaya pada tahun 1760 beberapa pemimpin dari penambang China mendirikan beberapa "Kongsi" pertambangan dengan mengelompokkan anggotanya menurut suku asal mereka di negeri leluhur. Tercatat sedikitnnya ada 12 Kongsi yang telah didirikan oleh para pekerja tambang China. Namun, Kongsi yang besar dan kuat hanya ada tiga, yaitu Kongsi Ta Kang yang menguasai kawasan Monterado-Larah. Kemudian Kongsi Lan Fang yang berkedudukan di Mandor dan Kongsi San Tiao Kou yang menguasai kawasan dekat Sepang, Seminis dan wilayah Pemangkat.
Ketiga Kongsi ini saling bermusuhan antara satu dengan yang lainnya karena persoalan batas wilayah pertambangan yang dikuasai mereka. Sedangkan Kongsi-kongsi kecil hanya mengikat hubungan kerjasama dengan salah satu Kongsi terbesar itu.
Ketiga Kongsi besar yaitu Ta Kang, Lan Fang dan San Tiao Kou berusaha memperluas wilayah pertambangan mereka dengan cara melakukan kerjasama dengan kongsi-kongsi kecil yang berada di luar wilayah merek. Perebutan pengaruh kalangan Kongsi ini menimbulkan menjadi penyebab permusuhan ketiga Kongsi besar itu terutama pada Kongsi Ta kang dengan Kongsi Tiao Kou yang wilayahnya berdekatan.
Pada tahun 1837 terjadi peperangan antara Kongsi Ta Kang dengan Kongsi San Tiao Kou yang disebabkan perselisihan perebutan wilayah pertambangan emas. Perselisihan itu bermula dari dibukanya Kongsi Kecil di Buduk dan Lumar (sekarang Kabupaten Bengkayang) oleh kalangan Kongsi Ta Kang. Tekanan yang dilakukan Kongsi Ta Kang terhadap Kongsi San Tiao Kou dan kongsi-kongsi lainnya yang kecil mengakibatkan mereka lari kepedalaman dan bahkan melarikan diri ke Serawak Malaysia. Sebagian dari mereka mendapatkan ijin dari Sultan Sambas untuk bercocok tanam dan meninggalkan pekerjaan pertambangan di daerah pedalaman.
Pada masa itu, peran kontrol Kesultanan Sambas terhadap para Kongsi China semakin lemah terutama setelah terjadinya penyerangan yang dilakukan Kolonial Inggris terhadap Kesultanan Sambas pada tahun 1813 untuk menangkap Pangeran Anom yang dituduh Raffles sebagai komandan Lanun. Terlebih lagi setelah pengembalian tahta Sultan Sambas oleh Inggris pada 24 Oktober 1813 yang disertai dengan syarat bahwa Kesultanan Sambas tidak boleh memiliki pasukan tempur dan hanya diperkenankan mempunyai pasukan pengawal istana saja. Dalam kondisi itu, Kesultanan Sambas tidak lagi memiliki kekuatan militer untuk menghadapi sepak terjang para pemimpin Kongsi yang mulai membangkang kepada kekuasaan Sultan Sambas terutama dalam hal membayar pajak atau upeti.
Kelemahan Kesultanan Sambas yang tidak lagi memiliki pasukan tempur dimanfaatkan para pemimpin Kongsi Ta Kang dan Kongsi-kongsi kecil diwilayah kontrolnya untuk membangun sebuah kekuatan pemerintahan sendiri yang kemudian dikenal dengan nama "Repubrik Kongsi". Selain mengatur pemerintahan dan membuat peradilan sendiri, Kongsi Ta kang dan kongsi kecil lainnya juga tidak mau lagi menyetor pajak orang asing dan pajak pertambangan emas yang mereka usahakan.Secara Defacto, Kongsi Ta Kang dan para kongsi kecil lainnya telah memisahkan diri dari Kesultanan Sambas yang telah memberikan wilayah pertambangan emas untuk mereka dulu. Pembangkangan yang dilakukan pimpinan Kongsi Ta Kang ini sangat meresahkan Sultan Sambas sehingga Sultan Sambas meminta bantuan Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) untuk menumpas kongsi tersebut.
Patut diketahui bahwa sebelum para pekerja tambang China didatangkan ke Borneo Barat (Kalbar) oleh Penembagan Mempawah dan Kesultanan Sambas mereka terlebih dahulu menetap di Brunei dan melakukan pekerjaan penambangan emas yang dikendalikan oleh Kesultanan Brunei. Namun, lahan tambang Brunei mulai menipis dan mereka ditawarkan oleh Sultan Brunei kepada Penembahan Mempawah dan Kesultanan Sambas. Kedatangan kelombang pertama penambang emas China ke Borneo Barat (Kalbar) bukan atas inisiatif mereka sendiri tetapi difasilitasi oleh Sultan Brunei dan tercatat dalam laporan Raffles bahwa jumlah mereka mencapai 30.000 orang lebih dan jumlah emas yang mereka hasilkan dari beberapa kawasan pertambangan emas di Borneo Barat (Kalbar) sekitar 4.744.000 dollar Spanyol per-tahun.
Pada tahun 1799, terjadi pemberontakan pertama Kongsi China dan berhasil ditanggulangi Kesultanan Sambas dan Belanda. Pemberontakan ke-dua terjadi pada 13 Maret 1819 yang menyebabkan Lenan Von Kielberg terluka dan Juru Tulis Raupp hilang. Hingga kini jenazah juru tulis itu tidak pernah ditemukan lagi. Pemberontakan dipicu kebijakan Residen Sambas George Muller yang dinilai tidak aspiratif dalam menampung keluhan para Kongsi China. Tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Kapten Zimmermen.
Kongsi Ta kang dan kongsi-kongsi kecil lainnya bukan saja tetap menolak pembayaran pajak kepada Kesultanan Sambas tetapi mempersiapkan untuk melakukan pemberontakan ke-tiga yang lebih besar pada tahun 1851 yang menyebabkan Letnan Kolonel (Overste) Zorg tewas dalam pertempuran. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Overste Andressen. Pasukan Belanda di Sambas dengan kekuatan militer yang dibantu pasukan dari Batavia (Jakarta) yang akhirnya dapat membubarkan Kongsi China terbesar di Monterado pada tahun 1854. Diketahui bahwa uapaya untuk menundukkan Kongsi China di wilayah Kesultanan Sambas Overste Andressen telah mengerahkan 2000 lebih tentara yang didatangkan dari pulau Jawa.
0 comments:
Post a Comment