Sunday, January 8, 2012
Home »
opini
»
Renungan Untuk Generasi Bangsa
Nyaris enam dasarwarsa lewat sejak Indonesia ditegakkan, Indonesia agaknya masih belum menjadi tempat yang layak bagi setiap orang.
kemiskinan terasa begitu hadir dan amat dekat, kita bisa menyisir jalan sambil melempar pandangan, maka segala yang ganjil dan janggal dapat dengan mudah kita temukan.
Di Kota-kota besar menjamur pusat-pusat belanja yang menyuguhkan kemewahan, namun disitu pula kita menemukan anak-anak yang mengundi nasib demi mengais uang receh di jalan-jalan.
Sepanjang jalan protokol, berdiri tegak gedung-gedung megah dan apartemen bernilai milyaran rupiah, akan tetapi di sepanjang sungai berjejer rumah-rumah bilik yang lebih menyerupai jamban ketimbang tempat tinggal yang layak dan ada jauh lebih banyak lagi mereka yang menjadikan langit dan awan sebagai atap saat memejamkan pelupuk disaat larut.
Indonesia adalah negeri yang berdiri diatas niat dan tekat yang membatu, namun kita tahu Indonesia adalah negeri yang terseok-seok menempuh waktu maka ingatan kita merangkak kebelakang mengenang seorang muda yang gelisah di sebuah era ketika sikap politik bergemuruh dan kediktatoran dianggap perlu, Sikapnya memang tak lues dan bagi panggung politik jalan lurusnya barang kali tak pernah mendapatkan sambutan yang patut.
Pada masanya, maupun era-era setelahnya Ia adalah sebuah keteladanan yang utuh murni dan tulusnya perjuangan, Ia adalah seorang yang idealis dibatas terjal, lelaki muda itu adalah "SOE HOK GIE".
Soe Hok Gie adalah barang kali mengerti menjadi seorang Indonesia, ia telah menegakkan sebuah posisi berdiri bersama mereka yang malang dan tersingkirkan hingga pada suatu seketika Soe Hok Gie mendapati pengemis tua yang sedang mengunyah kulit mangga.
Di usia remaja, Ia tak punya banyak uang hanya ada 2 setengah perak dikantongnya dan Ia memberikan seluruhnya kepada pengemis yang dibalut lapar dan dahaga.Soe Hok Gie adalah orang muda yang geram yang menyadari mereka yang ketika itu duduk dipucuk kuasa nasibnya seratus depalan puluh derajat berbeda.
Kita menyimak dalam catatan hariannya yang menulis, "2 km dari pemakan kulit mangga, Paduka kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik, Aku besertamu orang-orang malang."
Soe Hok Gie bukan cendikiawan yang berumah di atas awan, Ia mendamaikan para gading ilmuan dan dunia kaum demonstran. Saat pikiran-pikiran muram bertandang, Soe Hok Gie acap melepaskan kegelisahannya di Padang Mandala Wangi di atas puncak yang sunyi Ia mengadu kepada langit membeberkan kegelisahan yang terus menumpuk.
Pada akhirnya inilah cerita seorang muda yang hidupnya berakhir secara tiba-tiba satu hari menjelang usia ke-27, Gie meninggal dunia di ketinggian Gunung Semeru.
Banyak yang tidak percaya, tapi seandainya anak muda itu masih hidup mungkin kita masih melihatnya berdiri disebuah tempat memperjuangkan sesuatu yang pernah ditulisnya waktu itu.
Renungan Untuk Generasi Bangsa
Nyaris enam dasarwarsa lewat sejak Indonesia ditegakkan, Indonesia agaknya masih belum menjadi tempat yang layak bagi setiap orang.
kemiskinan terasa begitu hadir dan amat dekat, kita bisa menyisir jalan sambil melempar pandangan, maka segala yang ganjil dan janggal dapat dengan mudah kita temukan.
Di Kota-kota besar menjamur pusat-pusat belanja yang menyuguhkan kemewahan, namun disitu pula kita menemukan anak-anak yang mengundi nasib demi mengais uang receh di jalan-jalan.
Sepanjang jalan protokol, berdiri tegak gedung-gedung megah dan apartemen bernilai milyaran rupiah, akan tetapi di sepanjang sungai berjejer rumah-rumah bilik yang lebih menyerupai jamban ketimbang tempat tinggal yang layak dan ada jauh lebih banyak lagi mereka yang menjadikan langit dan awan sebagai atap saat memejamkan pelupuk disaat larut.
Indonesia adalah negeri yang berdiri diatas niat dan tekat yang membatu, namun kita tahu Indonesia adalah negeri yang terseok-seok menempuh waktu maka ingatan kita merangkak kebelakang mengenang seorang muda yang gelisah di sebuah era ketika sikap politik bergemuruh dan kediktatoran dianggap perlu, Sikapnya memang tak lues dan bagi panggung politik jalan lurusnya barang kali tak pernah mendapatkan sambutan yang patut.
Pada masanya, maupun era-era setelahnya Ia adalah sebuah keteladanan yang utuh murni dan tulusnya perjuangan, Ia adalah seorang yang idealis dibatas terjal, lelaki muda itu adalah "SOE HOK GIE".
Soe Hok Gie adalah barang kali mengerti menjadi seorang Indonesia, ia telah menegakkan sebuah posisi berdiri bersama mereka yang malang dan tersingkirkan hingga pada suatu seketika Soe Hok Gie mendapati pengemis tua yang sedang mengunyah kulit mangga.
Di usia remaja, Ia tak punya banyak uang hanya ada 2 setengah perak dikantongnya dan Ia memberikan seluruhnya kepada pengemis yang dibalut lapar dan dahaga.Soe Hok Gie adalah orang muda yang geram yang menyadari mereka yang ketika itu duduk dipucuk kuasa nasibnya seratus depalan puluh derajat berbeda.
Kita menyimak dalam catatan hariannya yang menulis, "2 km dari pemakan kulit mangga, Paduka kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik, Aku besertamu orang-orang malang."
Soe Hok Gie bukan cendikiawan yang berumah di atas awan, Ia mendamaikan para gading ilmuan dan dunia kaum demonstran. Saat pikiran-pikiran muram bertandang, Soe Hok Gie acap melepaskan kegelisahannya di Padang Mandala Wangi di atas puncak yang sunyi Ia mengadu kepada langit membeberkan kegelisahan yang terus menumpuk.
Pada akhirnya inilah cerita seorang muda yang hidupnya berakhir secara tiba-tiba satu hari menjelang usia ke-27, Gie meninggal dunia di ketinggian Gunung Semeru.
Banyak yang tidak percaya, tapi seandainya anak muda itu masih hidup mungkin kita masih melihatnya berdiri disebuah tempat memperjuangkan sesuatu yang pernah ditulisnya waktu itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment